Pages

Zona tak nyaman selalu memberi pengalaman

Banyak dari kita yang terjebak dalam zona nyaman. Ini udah jadi topik umum yang sering dibahas oleh motivator-motivator, tapi ironisnya, hidup mereka sendiri sering kali penuh dengan privilese. Bagi kita yang hidup dalam kewaspadaan, nggak ada backup kalau keuangan menipis, nggak ada yang bisa bantu, dan hidup benar-benar menjadi perjuangan untuk menjadi lebih baik. Banyak dari kita juga mengemban tugas mulia untuk membahagiakan orang tua. Meskipun begitu, banyak yang gagal karena tuntutan keadaan, dan itu bukan kesalahan kita. Di sisi lain, kita juga ingin membahagiakan diri sendiri, membeli barang-barang yang diinginkan, tapi kita sadar orang tua juga butuh perhatian. Belum lagi, biaya pernikahan sekarang jauh lebih mahal dan tidak seimbang dibandingkan zaman orang tua kita dulu. Beberapa dari kita bahkan harus membagi penghasilan dengan biaya kuliah yang juga nggak murah. Generasi kita mungkin adalah yang paling terjepit, generasi yang paling banyak mengalami stres dan depresi karena pesatnya kemajuan zaman yang seolah-olah nggak ada tangganya. Kita tertatih-tatih untuk mencapai apa yang disebut orang sebagai "kenormalan." Kenormalan ini meliputi menikah di usia yang sesuai, memiliki keluarga harmonis, dan mewujudkan mimpi. Tapi, seiring bertambahnya usia, kekhawatiran itu semakin besar. Banyak dari kita yang ingin hidup nyaman dan bebas secara finansial, bener kan? Kadang gw merasa tertinggal dibanding anak-anak yang lebih muda, yang udah punya ini-itu, udah bisnis, dan sebagainya. Gampangnya, kita bisa aja nyalahin keadaan, bilang, "Ya jelas enak lah anak sekarang, media pendidikan bisnis udah sangat mudah, olshop udah bagus, YouTube dan kuota udah sangat manusiawi. Dulu mah 5MB aja 5000," atau, "Di zaman kita, ilmu aja harus nyari pake seminar." Tapi, di balik itu semua, generasi kita dianggap paling bijak dalam menggunakan era internet ini. Kita yang ngelewatin peralihan dari main gundu jadi candu TikTok, dari abis magrib ngaji di masjid jadi cuma mantengin sosmed dan ghibah. Mungkin, memang seharusnya kita ngalah. Kita nggak bisa kejar mereka, susah, beda. Lagian, mereka dari kecil udah punya akses ke tontonan YouTube, media belajar yang lebih baik. Kalau kita lahir di umur-umur mereka sekarang, mungkin kita juga bakal seperti itu. Tapi, positifnya, generasi di bawah kita jadi lebih pinter nyari duit. Meskipun, sayangnya, banyak juga yang melewati batas-batas agama. Sekarang, seharusnya kita fokus aja pada peran masing-masing di dunia. Kalau semua orang bisnis, terus siapa yang nyapu jalan, ngangkut sampah, gali lubang buat kabel fiber, benerin trafo listrik, atau ngerawat pasien di rumah sakit? Hidup tuh singkat, sebenernya kita cuma perlu jalanin aja. Kalau ditanya esensi hidup, secara tanda kutip, manusia hidup bukan buat nyari bahagia, tapi buat nyari cara bertahan hidup. Dunia ini fana, ngejar penilaian dari orang lain nggak akan ada habisnya. Hehe. Tapi, kalau mau tetap ngejar kesuksesan finansial, why not? Gw juga nggak pernah ngelarang. Kalau ada yang perlu ditambahkan, mungkin satu hal yang penting adalah kesadaran bahwa kita semua punya jalan masing-masing. Nggak semua orang dilahirkan dengan kesempatan yang sama, tapi yang penting adalah gimana kita memanfaatkan apa yang kita punya. Daripada fokus pada apa yang nggak kita miliki, lebih baik kita syukuri apa yang ada dan terus berjuang dengan apa yang kita punya. Karena, pada akhirnya, hidup bukan tentang siapa yang punya paling banyak, tapi siapa yang bisa bertahan dengan yang dia punya.

ABDISR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar